TIMES SOFIFI, PACITAN – Semangat berkarya tak pernah padam dari diri Seno (60), perajin anyaman bambu asal Dusun Krajan, Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan.
Meski harus menjalani hari dengan keterbatasan penglihatan, pria sederhana ini tetap tekun menganyam bambu menjadi berbagai produk yang bermanfaat.
Di rumahnya yang sederhana, Seno duduk bersama istrinya, Senok (59), sambil menyelesaikan besek pesanan pelanggan.
Tangannya yang terlatih sejak kecil membuat gerakan menganyam terlihat begitu luwes. Ia mengaku kewalahan melayani permintaan yang kian meningkat, terlebih saat memasuki bulan Agustus.
“Setiap hari alhamdulillah ada yang pesan. Agustus seperti sekarang biasanya untuk keperluan stand UMKM. Proses pembuatannya tidak bisa ditentukan hari, karena ini tergolong sampingan,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Senin (25/8/2025).
Turun-Temurun dan Jadi Tradisi
Bagi Seno, keterampilan menganyam bambu bukan hal baru. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan kerajinan tangan ini karena merupakan warisan turun-temurun dari keluarganya. Menurutnya, menganyam bukan sekadar keterampilan, tetapi juga tradisi yang harus dijaga.
“Peninggalan turun-temurun. Sejak kecil sudah dibekali keterampilan menganyam kerajinan tangan. Sudah menjadi tradisi,” kata Seno.
Ia bercerita, dulu pernah ada kelompok perajin yang bersama-sama membuat kursi dan meja dari bambu. Namun, kebersamaan itu tidak bertahan lama.
“Dulu ada kelompok anyam untuk membuat kursi dan meja dari bambu. Tapi tak lama setelah itu program nggak berjalan. Akhirnya balik lagi ke usaha mandiri,” ujarnya.
Alasan kembali memilih bekerja sendiri cukup sederhana. Menurut Seno, dalam kerja kelompok sering kali muncul perbedaan pendapat yang membuat suasana tidak nyaman.
“Kalau dibikin kelompok, kadang ada yang nggak kompak, bikin perasaan nggak enak, akhirnya bikin sendiri-sendiri,” imbuhnya.
Produk Anyaman dan Harga Jual
Hasil karyanya cukup beragam. Mulai dari besek untuk tempat ingkung, tompo, senin, hingga pithi. Dari sekian jenis itu, besek menjadi yang paling banyak diminati.
“Dalam sebulan mampu menjual besek untuk tempat ingkung 150 biji. Per satu Rp20 ribu ukuran 40 sentimeter,” kata Seno.
Sementara produk lainnya dijual dengan harga lebih terjangkau. “Pithi Rp4 ribu per satunya,” tambahnya.
Bahan Semakin Sulit
Seno mengaku saat ini bahan baku bambu semakin sulit diperoleh. Bambu apus yang terkenal kuat dan lentur menjadi pilihan utama. Sayangnya, harga bambu terus meroket karena banyak diborong pembeli dari luar daerah.
“Bahannya semuanya beli. Bambu apus menjadi jenis bahan paling ulet dan bagus. Sekarang agak susah didapatkan bahannya,” tuturnya.
Kenaikan harga cukup signifikan. “Saat ini Rp10 ribu per batang. Dulu Rp2,5–3 ribu sebelum diborong pembeli dari luar daerah. Sehingga bahan terlambat datang,” ungkapnya.
Bagi Seno, harapan terbesar adalah agar bahan baku tidak mengalami kelangkaan. “Yang paling penting harapannya agar bahan tidak ada kelangkaan,” katanya.
Hidup Sederhana, Hasil untuk Kebutuhan Keluarga
Seno hanya bersekolah sampai bangku SD. Dari pernikahannya dengan Senok, ia dikaruniai tiga anak, meski salah satunya telah meninggal dunia. Dua anaknya kini masih bersekolah, satu di tingkat SMP dan satunya SMK.
“Cukup nggak cukup ya untuk kebutuhan keluarga,” ucapnya lirih.
Meski hasil penjualan anyaman membantu ekonomi, sumber penghasilan utama Seno sebenarnya berasal dari jasa pijat urat. Ia menekuni profesi itu sejak 2004 setelah mendapat pelatihan dari pemerintah.
“Penghasilan utama adalah pijat. Setiap hari ada yang minta jasa pijat urat. Sejak 2004 usai mendapatkan pelatihan dari pemerintah,” jelasnya.
Sementara menganyam bambu ia anggap sebagai pekerjaan sampingan sekaligus cara untuk menjaga tradisi keluarga. Senok, istrinya, selalu setia menemani dan mendukung aktivitas tersebut.
Dukungan Pemerintah
Seno mengakui pemerintah pernah memberikan bantuan berupa peralatan, meski sifatnya seadanya. Bagi dirinya, bantuan terbesar sebenarnya bukan sekadar alat, melainkan jaminan ketersediaan bahan baku.
Dengan keterbatasan fisik yang dimilikinya, Seno tidak pernah menyerah. Ketekunannya menjaga tradisi sekaligus mencari nafkah menjadi inspirasi bagi banyak orang. Baginya, keterbatasan bukanlah penghalang untuk tetap berkarya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kisah Seno, Perajin Anyaman Bambu Pacitan yang Tak Menyerah Meski Penglihatan Terbatas
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |