TIMES SOFIFI, JAKARTA – Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai keputusan pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua RI Soeharto sebagai tindakan yang mencederai memori publik dan nilai-nilai reformasi. PVRI menyebut kebijakan itu sebagai “skandal politik terbesar era Reformasi”.
Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq, menegaskan bahwa keputusan tersebut mengabaikan suara masyarakat sipil, terutama para penyintas pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.
“Pemberian gelar ini lebih menyerupai upaya cuci dosa sejarah. Secara administratif mungkin dianggap sah, tetapi secara moral dan pengetahuan publik jelas bertentangan dengan fakta-fakta penyimpangan kekuasaan selama 32 tahun Orde Baru,” ujar Nazif.
Ia mempertanyakan bagaimana seorang tokoh yang dinilai bertanggung jawab atas praktik pelanggaran HAM dan KKN bisa ditempatkan sebagai pahlawan nasional. “Keputusan ini sesat pikir. Tidak sejalan dengan rekam jejak yang sudah lama terbuka di ruang publik,” tambahnya.
Mengabaikan Sejarah
Ketua Dewan Pengurus PVRI, Usman Hamid, menyampaikan kritik yang tak kalah tajam. Menurutnya, pemberian gelar tersebut justru mengabaikan salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia.
“Bagaimana mungkin seseorang yang dianggap terlibat dalam tragedi kemanusiaan terbesar saat perebutan kekuasaan dijadikan pahlawan nasional? Ini keputusan yang benar-benar sulit dipahami,” ujarnya.
Menyinggung Sejumlah Kajian Ilmiah
PVRI menyitir berbagai kajian akademik yang menelusuri awal kekuasaan Soeharto dan dinamika kekuasaan Orde Baru. Di antaranya adalah riset Benedict Anderson dan Ruth McVey (1971), John Roosa (2006), Saskia Wieringa (1999), hingga Vincent Bevins (2022), yang menggambarkan rangkaian kekerasan politik pasca-1965.
Nazif mengatakan, bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa pembasmian terhadap kelompok progresif, perempuan, akademisi, dan kelompok yang dituding berhaluan kiri terjadi secara sistematis. Brutalisme tersebut, menurut PVRI, berlangsung bersamaan dengan penanaman narasi anti-komunisme yang berkelanjutan dalam berbagai medium kebudayaan.
PVRI juga mengingatkan bahwa dokumen-dokumen sejarah mencatat keterlibatan kekuatan asing dalam menguatkan posisi Soeharto pada masa-masa awal kekuasaan. “Peran negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dalam menyokong kebijakan antikomunisme memperlihatkan bahwa konsolidasi kekuasaan Orde Baru bukan sekadar urusan dalam negeri,” ujar Nazif.
Kritik atas Warisan Orde Baru
PVRI menilai gaya kepemimpinan Soeharto semasa berkuasa meninggalkan dampak panjang, mulai dari budaya bisu dalam pendidikan, ketimpangan ekonomi, dominasi militer, hingga penghancuran ruang kritik di masyarakat. Tragedi 1998 yang diwarnai kekerasan, termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa, disebut sebagai salah satu warisan terkelam.
“Penghargaan ini seolah menghapus seluruh kesaksian korban dan melemahkan upaya mengungkap kebenaran,” kata Nazif.
Kekhawatiran Menguatnya Politik Fasis
PVRI menilai keputusan pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto berpotensi membuka ruang bagi menguatnya tren politik otoritarian. PVRI juga menyoroti dukungan sebagian elite ormas keagamaan terhadap keputusan tersebut.
“Ketika negara dan kelompok agama melebur, itulah ciri fasisme. Ini yang membuat situasi sekarang mengkhawatirkan,” ujar Nazif.
PVRI memperingatkan bahwa konfigurasi politik saat ini menunjukkan tanda-tanda kemunduran demokrasi. Dari 10 tokoh yang dinominasikan tahun ini, enam di antaranya berlatar belakang agama dan dua merupakan jenderal yang berperan dalam peristiwa 1965.
“Jika arah ini tidak dibendung, jarum sejarah bisa bergerak kembali menuju masa gelap otoritarianisme,” ucapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: PVRI: Gelar Pahlawan untuk Soeharto adalah Skandal Terbesar Era Reformasi
| Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |